NAMPAKNYA Pemerintah Kota Bandar Lampung tetap bersikukuh untuk menambah bangunan jalan layang ataufly over. Kali ini bukan lagi di pinggiran kota, melainkan sudah masuk kedalam kota, yakni di ruas Jalan ZA Pagar Alam depan kampus Perguruan Tinggi Teknokrat yang merupakan jalan Nasional.
Bukan hanya itu, tahun ini juga di simpang kampus Universitas Lampung juga akan di bangun jalan underpass. Alasannya untuk mengurai dan mengatasi kemacetan arus lalulintas. Banyak masyarakat yang mengelu-elukan Walikota Bandar Lampung Herman HN yang di nilai berhasil dalam membangun infrastruktur, namun tidak kurang pihak yang melontarkan kritik atas pembangunan fly over tersebut.
Meski saya termasuk kelompok yang tidak setuju, namun saya sadar kritik sekeras apapun tidak akan mampu merubah keputusan Walikota. Terlebih pembangunan fly over tersebut menjadi proyek mercusuar dan kebanggaan Walikota, meski sesungguh nya bukan satu-satunya alternatif.
Fly over hanya akan mampu mengatasi kemacetan dalam jangka pendek. Kemacetan lalulintas akan berkurang ketika fly over tersebut selesai di bangun, tapi dalam kurun waktu diatas 5 tahun saja kemacetan akan kembali terjadi, karena pertumbuhan kendaraan pribadi akan meningkat pesat.
Bukan itu saja, keberadaan fly over juga berdampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan. Dampak negatif yang paling berpengaruh untuk radius 0-25 meter adalah polusi udara, sedangkan radius 26-50 meter adalah dampak kebisingan dangetaran terhadap gangguan tidur.
Dan yang paling dikhawatir kan, pada radius 51-75 meter adalah terganggunya kesehatan akibat polusi udara. Mungkin kita perlu belajar dari beberapa negara yang sudah meninggalkan tradisi menambah jalan layang ini, seperti New Del¬hi (India) dan sebagian negara Ameirika Latin. Juga yang terjadi di kota-kota Asia lainnya seperti di Seoul, Korea Selatan.
Pada 1968, untuk mengatasi kemacetan pemerintah Korea Selatan membangun jalan layang. Namun selama 35 tahun kemudian, ternyata masalah kemacetan takkunjung hilang. Selainitu, keberadaan fly over juga menimbulkan lingkungan dan merusak keindahan wajah kota.Akhirnya mereka meruntuhkan jalan layang itu dan mengembalikan fungsi sebagaimana semula.
Jujursaja, pelaksanaan pembangunan fly over di perkotaan sering menimbulkan perubahan kondisi lingkungan yang merugikan dan berdampak negatif bagi masyarakat dan pengguna lalulintas di sekitarnya.
Salah satu penyebab munculnya dampak negatif tersebut adalah konsekuensi dari metode konstruksi struktur atas yang dipakai. Dampak negatif tersebut antara lain kemacetan lalulintas, kebisingan, kecelakaan, dan lain sebagainya.
Seharusnya Pemkot tidak perlu memaksakan diri untuk membangun fly over, apalagi jika harus menggunakan dana pinjaman. Mungkin akan lebih baik jika dana pinjaman tersebut dialihkan untuk menyelesaikan tunggakan yang lebih prioritas seperti pembayaran tunjangan Sertifikasi Guru, dana Bina Lingkungan dan tunggakan lainnya yang merupakan hak dan harus segera dilunasi.
Jika Pemkot benar-benar komitmen untuk mengatasi kemacetan dalam jang kapanjang, maka wacana untuk membangun jalan lingkar atau Ring Road sebagaimana pernah disampaikan Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Pola Pardede perlu dihidupkan kembali.
Meski untuk merealisasikan butuh waktu yang panjang, dari mulai tahap perencanaan, sosialisasi kepada masyarakat dan tahap pelaksanaannya. Seharusnya Pemkot Bandar Lampung dapat berlaku bijak dan tepat di dalam memutuskan pembangunan fly over maupun underpass yang secara kebetulan bersentuhan langsung dengan 2 Perguruan Tinggi, yakni Universitas Lampung dan Teknokrat Bandar Lampung.
Apakah kedua Perguruan Tinggi akan diam begitu saja, tanpa minta untuk dilakukan kajian ulang atau penolakan? Terlebih pembangunan Rumah Sakit di simpang Universitas Lampung akan dilanjutkan pada tahun 2017 ini yang tentu saja perlu untuk dipertimbang kan kembali keberadaan underpass tadi.
Yang pasti, kemacetan yang terjadi di lokasi tersebut tidak bisa di lihat dari sisi lokasi macet itu saja. Artinya, rekayasa lalulintas di Kota Bandar Lampung tidak dapat di buat perpenggal jalan, melainkan harus rekayasa skala kawasan, bahkan kota.
Maka jika fly over harus di bangun, hendak nya diprioritaskan pada perlintasan relkeretaapi atau jalan arteri By Pass yang selamaini rawan kemacetan. Dengan begitu kota Bandar lampung masih memiliki kesempatan untuk berbenah dan mempercantik diri dan diharapkan akan menjadi kota terbaik di antara kota-kota lain.
Sebaliknya, jika setiap persimpangan seperti Unila dan MBK diperlakukan sama, maka sudah diyakini kota Bandar Lampung akan semakin rumit dalam melakukan pembenahannya(*).