Aqil Irham: Demokrasi Muka Dua pada Negara

MUHAMMAD AQIL IRHAM boleh jadi merupakan salah satu kebanggaan bagi warga Nahdlatul Ulama (NU) Lampung. Sebab, dia adalah satu-satunya Sekjen PP GP Ansor yang sudah berhasil meraih title doktor, dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,7 di Universitas Indonesia.

Selain aktif di organisasi GP Ansor, pria kelahiran Kotabumi, 11 Desember 1969 ini yang juga merupakan dosen Sosiologi Politik di IAIN Raden Intan Lampung, baru saja dikukuhkan menjadi doktor di bidang sosiologi, pada akhir Februari lalu. Sebelumnya, Aqil berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul: Demokrasi “Muka Dua” pada Negara dan Masyarakat (studi Pemilukada di Lampung), pada sidang di auditorium Juwono Sudarsono Gedung F lantai 2 Kampus Fisip UI Depok, Senin (5/1) lalu.

Dalam bincang santai di kediamannya Jalan Raden Gunawan II, Sukamaju, Rajabasa, Bandar Lampung, Muhammad Aqil Ilham yang Notabene nya kakak ipar dari Pimpinan Umum/Redaksi Media Duta Lampung dan Pena Berlian, M.Nurullah RS ini, bertutur banyak hal tentang buruknya pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Setelah sukses mendapatkan gelar doktor, apa target Anda di masa mendatang?
Setelah menjadi doktor, ya saya ingin menjadi professor, guru besar, melakukan penelitian, dan memberikan yang terbaik buat masyarakat.

Mengapa Anda mengangkat disertasi tentang fenomena Demokrasi “Muka Dua” dalam Pemilukada langsung, apa yang melatar belakanginya?

Ya, dalam Pemilu di negara kita ini kan masih banyak masalah. Harusnya demokrasi itu mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Praktik demokrasi itu dituangkan dalam pemilu.

Demokrasi itu harusnya menjamin suara-suara rakyat didengar dalam pemerintahan. Namun yang terjadi Pilkada itu hanyalah pesta hura-hura bagi rakyat, kalangan politik dan semua yang terlibat di dalamnya. Itulah kenapa Pilkada ataupun Pemilu yang lain disebut “ pesta demokrasi” karena memang perhelatan demokrasi tersebut tak ubahnya seperti sebuah pesta.

Di dalam pesta itu isinya hanya makan-makan, hura-hura, senang-senang. Setelah selesai, ya selesai juga semua urusan. Dan semua masyarakat mengakui hal tersebut, bahwa masyarakat dan para elit kita menilai demokrasi hanya sebatas pesta.

Maksudnya?

Pilkada itu kan tujuannya untuk membentuk pemerintahan. Pemerintah itu nantinya menjalankan amanah rakyat, yaitu menyejahterakan rakyat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, suara rakyat didengar dan dianggap hanya saat pemilihan dan saat pesta. Setelah pesta itu selesai, rakyat sudah tidak ada lagi posisinya, rakyat hilang dilupakan begitu saja.

Lantas apa kesimpulan anda?

Dari fenomena tersebut, saya sebagai peneliti melihat bahwa demokrasi kita ini mukanya dua atau hipokrit. Demokrasi hanya dijadikan ajang umbar janji-janji manis, namun setelah selesai demokrasi lupa akan janji-janjinya.

Apa yang dimaksud demokrasi “Muka Dua”?
Demokrasi muka dua itu demokrasi munafik. Mereka para kandidat atau calon ketika hendak pemilihan menebarkan kebaikan kesana kemari, pengajian, dan lain-lain. Namun setelah terpilih mereka lupa dan kebaikan yang selama ini dilakukan hanyalah dijadikan sebuah topeng. Lama kelamaan topeng itu akan terlihat dan terbuka. Setelah terbuka akhirnya tertangkap oleh penegak hukum. Itulah sebabnya kenapa banyak kepala daerah di negara kita banyak yang terjerat kasus hukum dan korupsi.

Kenapa demikian?
Karena tidak ada keterlibatan rakyat di dalamnya. Suara rakyat itu hilang tidak dianggap sehingga mereka bertidak semaunya sendiri.

Di negara kita, demokrasi itu hanya dilihat dari aspek electoral, yaitu saat penyelenggaraan pemilihan dan pesta demokrasi. Semua orang ikut sibuk mempersiapkannya, baik itu masyarakatnya, elit politiknya, partai politiknya, termasuk ulamanya. Semua ikut terlibat dalam hiruk pikuk pemilihan tersebut.

Namun setelah selesai pemilihan, tidak ada lagi pengawasan dan kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Akhirnya kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan sewenang-wenang. Dari sini timbullah korupsi.

Jika masyarakat, ulama, mahasiswa, LSM, media, dan semua pihak itu mengawasi dan mengontrol kinerja kepala daerah, bukan hanya saat pemilihan, maka kepala daerah tidak akan melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan korupsi. Hal itulah yang dikatakan demokrasi muka dua. Singkatnya, demokrasi muka dua itu melakukan perbuatan korupsi dengan cara-cara yang demokratis.

Apa dampak negatif lainnya dari demokrasi seperti itu?

Demokrasi muka dua sebagaimana terjadi di Lampung hanya menghasilkan korupsi dan dinasti. Artinya tanpa pengawasan dari masyarakat menjadi jalan mudahnya pemerintah(kepala daerah) melakukan korupsi. Lalu hal semacam itu dilakukan turun temurun kepada anak dan keluarganya, sebagaimana terjadi diberbagai daerah di Indonesia.

Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Karena kedaulatan rakyat hilang dan tidak dianggap. Padahal demokrasi harusnya tidak semacam itu. Antara masyarakat dan pemerintah harus sama-sama bekerja dan saling mengawasi agar tidak terjadi penyelewengan.

Seperti apa sebaiknya demokrasi itu?
Dalam demokrasi itu setidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan yaitu, pertama, aspek electoral atau proses pemilihan. Kedua, setelah pemilihan diteruskan dengan menentukan atau menyusun program kerja bersama dengan pemerintah, DPRD untuk mengimplementasikan visi misi kepala daerah sewaktu kampanye. Dan hal itu harus diawasi serta dikawal oleh semua masyarakat agar tidak timbul penyelewengan.

Ketiga, melakukan audit sosial atas jalannya program yang telah dirancang tersebut. Apabila kita hanya melakukan demokrasi hanya dari aspek electoral saja tanpa dilakukan perencanaan program dan pengawasan terhadap program kerja, maka baru sebatas dikatakan demokrasi prosedural.

Apa saran Anda untuk Pemilukada di Lampung terkait riset tersebut?

Setidaknya ada tiga hal yang harus dan perlu dibenahi terkait Pemilukada di Lampung, yaitu menyarankan demokrasi agar dilakukan penguatan. Penguatan pengawasan dari masyarakat atas kinerja pemerintah daerah yang telah dipilih. Di samping itu itu juga kesadaran politik dan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu, serta perkuat daya kontrol terhadap pemerintah.

Kedua, elektabilitas partai harus diperbaiki dan dibenahi. Karena partai politik adalah merupakan sumber kekuasaan dalam demokrasi. Bila parpol tidak baik dalam melakukan rekrutmen calon atau kandidatnya maka yang akan terjadi adalah korupsi dan dinasti. Akhirnya hal tersebut mengesankan bahwa demokrasi mengkebiri hak atau suara masyarakat.

Ketiga penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan yang lain harus diperbaiki dan terus ditingkatkan kinerjanya, bukan hanya sebagai pelaksana penyelenggara pemilu tapi juga agar ikut melakukan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja pemerintah.

Apa dampak positifnya Anda menjadi doktor bagi masyarakat, khususnya masyarakat NU, mengingat anda adalah kader NU?
Ya, itu tergantung dari penilaian mereka. Yang jelas Saya ingin selalu memberikan yang terbaik kepada masyarakat dan generasi muda yang ada di Ansor. Dengan adanya saya mendapatkan delar doctor bisa menjadi penyemangat dan motivasi bagi mereka kader-kader Ansor untuk terus belajar dan berjuang agar menjadi manusia yang berguna.

Denger-denger, katanya saya adalah satu-satunya Sekjen GP Ansor yang meraih gelar doktor. Jadi ini sebuah kebanggaan tersendiri dan semoga bisa menjadi motivasi bagi kader-kader lain untuk lebih baik. (*)

Biodata
Nama : Dr. Muhammad Aqil Irham
Tempat/Tgl Lahir : Kotabumi, 11 Desember 1969
Alamat : Jalan Raden Gunawan II, Sukamaju, Rajabasa,
Bandar Lampung

Pendidikan:
S1 Fakultas Usuluddin Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Raden Intan Lampung
S2 Jurusan Sosiolog Fisip Universitas Indonesia
S3 Sosiolog Fisip Universitas Indonesia
Judul Tesis: Demokrasi Muka Dua pada Negara dan Masyarakat (Studi Pemilukada di Lampung)

Sumber : PWNU Lampung.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *