Catatan Redaksi Pimpinan Redaksi Pena Berlian

SEMPAT heboh di media sosial, kebijakan pemerintahan di era Jokowi-Jk yang kembali menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) baru-baru ini dinilai sangat memberatkan masyarakat.

Terlebih ini bukan kali pertama pemerintah diam-diam menaikan harga BBM. Tercatat di era Jokowi selama 4 tahun berkuasa, BBM naik sebanyak 12 kali. Kenaikan juga terjadi pada tarif dasar listrik (TDL) yang dianggap menyakitkan masyarakat.

Tak hanya itu, kurs rupiah yang terus melemah mendekati angka Rp 15 ribu sangat berdampak pada perekonomian masyarakat ini, khususnya rakyat kecil. Harga-harga kebutuhan pokok naik menyebabkan daya beli masyarakat turun. Apalagi kenaikan-kenaikan tersebut tidak diimbangi peningkatan upah tenaga kerja atau buruh, serta kenaikan harga-harga komoditas pertanian.

Pada dasarnya tidak masalah dolar, BBM, telur, listrik dll naik berapapun, dengan catatan nilai jual hasil pertanian, perkebunan dan industri kecil menengah kebawah serta upah buruh dinaikan juga, bukan justru menurun draktis.

Sebagai gambaran, telur dan dolar naik, seharusnya diimbangi dengan kenaikan produktivitas pertanian seperti kopi dan lada Rp100.000/kg, buah sawit Rp2.000/kg, karet Rp6000, dan singkong Rp2000/kg. Jika pengeluaran besar diimbangi dengan pemasukan yang lebih besar, saya yakin kenaikan BBM, listrik, dan dolar tidak akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Mereka tidak perlu lagi mengkhawatirkan biaya kebutuhan sehari-hari.

Bukan justru sebaliknya, yang terjadi saat ini, harga petani di semua bidang anjlok, sementara kebutuhan petani dan masyarakat di pasaran naik meroket. Bagaimana masyarakat tidak menjerit kalau seperti ini.

Sebagai pengalaman krisis moniter pada tahun 1998 lalu, bersamaan dengan reformasi kebutuhan sembilan bahan pokok naik seribu lipat, justru para petani palawija dan kebon justru menjadi makmur. Perekonomian masyarakat khususnya petani meningkat. Hal ini diindikasikan dari daya beli masyarakat dan kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan sandang, pagan dan papan.

Kejadian krisis moniter dulu justru menguntungkan rakyat, sebab hasil bumi saat itu naik draktis bersamaan kenaikan dolar yang tembus Rp12.000 lebih. Harga kopi perkilogram mencapai Rp100.000, Lada Rp200.000, cabai Rp50.000, dan bisa dipastikan semua hasil tani mengalami kenaikan yang luar biasa.

Tidak seperti yang terjadi saat ini, kenaikan dolar tidak diimbngi dengan kenaikan hasil pertanian dan produktivitas rakyat kecil. Harga hasil pertanian malah terjun bebas. Perbandingannya 15 : 1. Seperti contoh 15 kg buah sawit hanya bisa beli beras atau telor 1 kg. Sungguh miris memang, namun apa hendak dikata, rakyat tetaplah rakyat yang hanya bisa pasrah.

Oleh, karena itu sebagai catatan redaksi kami, sebaiknya pemerintah cepat mawas diri dan cepat ambil tindakan.

Batasi impor barang dari luar negri, cepat benahi harga jual petani di pasaran seimbangkan dengan kebutuhan. Stabilkan upah buruh dengan kebutuhan hidup mereka, agar kenaikan sembko serta dolar tidak berpengaruh terhadap kaum petani dan buruh.

Saya yakin jika ini dilakukan, masyarakat yang semakin cerdas akan menilai kinerja pemimpinnya. Tidak perlu diminta, rakyat khususnya para petani dan buruh akan berteriak lantang meminta kelanjutan dua periode bahkan menjadi pemimpin seumur hidup untuk era kepemimpinan saat ini.

Semoga catatan kecil redaksi duta- pena ini dapat dipertimbngkan dan bermanfaat.

Tabik pun…..!!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *