Bandarlampung ( PBO)- Baru-baru ini salah satu tokoh terkemuka Kabupaten Lampungtengah, Syamsir Firdaus, menulis surat terbuka milik sahabatnya Nizwar Afffandi untuk pak Syarif Makhya (Unila) dan Calon Gubernur Lampung.
Surat terbuka milik Nizwar Affandi kepada Syarif Makhya (Unila) serta calon Gubenur Lampung, terkait maraknya tuntutan warga yang menyoalkan ijin HGU milik sejumlah perusahaan besar yang ada di Lampung, yang diduga sebagian besar mencaplok lahan milik warga.
Permasalahan tersebut sempat menyedot perhatian sejumlah tokoh serta elemen masyarakat Lampung, yang mempertannyakan kebenaran permasalahan sengketa lahan yang dikuasai oleh sejumlah perusahaan.
Salah satu pertannyaan juga dilontarkan oleh Nizwar Affandi yang diunggah oleh Syamsir Firdaus. Demikianlah petikan pertannyaan terkait ijin HGU yang diunggak melalui status Syamsir Firdaus pada, Jumat (10/11/2017).
“Surat Terbuka Kawan Nizwar Afffandi untuk pak Syarif Makhya (Unila) dan Calon Gubernur Lampung”.
@guru saya Pak Syarief Makhya, isyu tentang HGU Perkebunan di Lampung (utamanya SGC) dan segala variannya (proses kepemilikan, kesesuaian ukuran, pajak, community development, dll) tampaknya memang harus ditelisik lebih serius dgn pendekatan multi disiplin ilmu secara komprehensif.
Tentu dgn mengabaikan fakta bahwa isyu ini seakan memiliki siklus yg berulang mengemuka setiap menjelang Pilgub. FISIP Unila mungkin dapat menginisiasi serangkaian FGD yg cermat dan telaten untuk itu, buku putih atau cetak biru yg berisi pandangan dan rekomendasi berbasis data valid yg telah di analisa dgn berbagai perspektif, akan menjadi wujud nyata tanggung jawab intelektualitas dan moralitas kampus sebagai centre of excellence.
Dugaan penggelapan pajak yg disuarakan beberapa pihak dalam aksi maupun di media sosial beberapa hari ini mengingatkan ananda kepada diskusi kita 17 tahun yg lalu ketika Bapak membimbing dan menguji skripsi saya tentang implikasi ekonomi politik UU Otda yg baru di Lampung. Saat itu kita sempat mendiskusikan absennya skema DBH (dana bagi hasil) sektor perkebunan, sedangkan skema DBH pertambangan begitu progresif memberi porsi besar kepada daerah-daerah yg memiliki areal tambang. Sampai saya kemudian menimba pengetahuan di program studi kehususan otonomi daerah dan pembangunan lokal di Salemba, ketimpangan antara DBH perkebunan dan DBH pertambangan masih belum berubah. Hampir 15 tahun saya terpisah dgn lingkungan akademis, tentu banyak informasi yg tidak saya ketahui.
Izinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan yg mungkin dapat dijadikan topik bahasan sekiranya FISIP Unila dalam waktu dekat berkenan menginisiasi serangkaian FGD.
1) Apakah skema DBH PBB sektor perkebunan saat ini sudah menguntungkan bagi daerah?
2) Apakah kewenangan penentuan NJOP lahan perkebunan masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau sudah di otonomi kan?
3) Apakah skema DBH Pajak Hasil Perkebunan saat ini sudah sama seperti DBH Pajak Hasil Pertambangan (yg menguntungkan daerah)?
4) Apakah skema kepemilikan saham Pemerintah Daerah dalam perusahaan pertambangan (ex: Antam, KPC, Newmont, dll) saat ini juga sudah dapat dilakukan pada perusahaan perkebunan?
5) Apakah ketentuan pelaksanaan dan mekanisme pengawasan kewajiban comdev perusahaan perkebunan sudah optimal? Sudah sebangunkah dgn UU Desa yg baru?
Akan ada banyak pertanyaan lanjutan dari 5 pertanyaan ini. Dalam hemat saya, inilah pokok-pokok masalah yg membutuhkan kajian dan layak diperjuangkan, bukan hanya oleh kampus tetapi juga oleh semua pemimpin daerah dan partai politik di Lampung.
Dengan begitu banyaknya perusahaan pemegang HGU Perkebunan di Lampung (SGC, GMP, GGPC, PTPN, Sungai Budi, PSMI, KCMU, dll) saya khawatir lebih dari setengah tanah Lampung telah dikuasakan dan dikelola mereka.
Jika itu tidak bisa membawa kesejahteraan rakyat, jika itu tidak bisa membuat Lampung menjadi provinsi maju dan kaya, tentu kita tidak bisa bilang bahwa semua baik-baik saja, tentu sulit bagi kita untuk bilang bahwa para pemimpin eksekutif dan anggota legislatif pada semua tingkatan sudah sungguh-sungguh khidmat bekerja.
Wallahua’alam bishowab.

