Karawang, (Pena Berlian Online) – Akhir-akhir ini kabar rencana kenaikan harga BBM bersubsidi mengundang protes keras dan menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Pasalnya rencana kenaikan harga BBM bersubsidi ini mengalami lonjakan harga yang begitu signifikan, khususnya untuk jenis Pertalite, Pertamax dan Solar. Untuk jenis Pertalite, pemerintah berencana mematok besaran kenaikan harga hingga kisaran Rp 10.000/liter dari harga ecer saat ini Rp 7.650/liter, jenis Pertamax menjadi Rp 16.000/liter dari harga ecer saat ini Rp 12.500/liter, sedangkan untuk jenis Solar Rp 7.200/liter dari harga ecer saat ini Rp 5.150/liter . Rencana kenaikan tersebut didasarkan pada kemampuan APBN yang sudah tidak dapat mengcover kebutuhan subsidi akibat naiknya harga minyak dunia saat ini.
Menyinggung persoalan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, Koordinator Biro Sosial Politik SRC (Strategic Reseach Center), Bung Fahmi mengungkapkan bahwa anomali ini disebabkan oleh banyak hal yang bersifat holistik, salah satunya adanya disrupsi geopolitik.
“Situasi saat ini dipengaruhi oleh banyak hal, selain manajerial pengelolaan APBN dan adanya perburuan rente, salah satunya adalah disrupsi geopolitik dunia. Krisis Ukraina dan Rusia berimplikasi pada suplai komoditas yang terkendala, sementara demand komoditas kita meningkat, sehingga mengakibatkan lonjakan harga komoditas.” jelas Bung Fahmi.
“Bayangkan saja sejak perang Ukraina, harga minyak dunia melonjak menjadi 125 USD/barel, lalu turun menjadi 100 USD/barel, merangkak naik lagi menjadi 126 USD/barel dan sekarang turun ke angka 99 USD/barel, jika tidak dianalisis secara komprehensif dan tatakelola APBN nya keliru tentu ini berpengaruh terhadap harga komoditas energi kita.” tambah Bung Fahmi.
Selain itu, Bung Fahmi berpendapat bahwa selain tidak tanggap menganalisia disrupsi geopolitik, pemerintah pun tidak cukup baik dalam mengelola kebijakan moneternya yang berpotensi dapat mengakibatkan kerugian kas negara dan bangkrutnya Pertamina.
“Menkeu mengatakan bahwa APBN 2022 mengakomodir anggaran sebesar 502,4 Trilyun untuk tambahan subsidi BBM plus dana kompensasi, padahal menurut perpres no.98/2022 postur anggaran untuk subsidi BBM hanya 14,7 Trilyun. Jadi tidak ada itu dalam APBN untuk dana kompensasi, karena tidak ada nomenklaturnya. Padahal meski 1 rupiah pun seharusnya dapat dipertanggungjawabkan pemerintah karena APBN itu uang rakyat.” terang Bung Fahmi.
Tercatat sepanjang 2022 Pertamina mengalami kerugian dan terancam bangkrut. Defisit kas milik Pertamina yang signifikan, diperkirakan mencapai mencapai USD12,98 miliar atau setara Rp191,2 triliun, hal ini diakibatkan melonjaknya harga minyak dunia dan proses pembayaran dana kompensasi yang bermasalah dari pemerintah pada Pertamina.
“Harus diketahui oleh semua, bahwa yang dimaksud BBM bersubsidi dalam APBN itu hanya jenis solar dan minyak tanah, itupun masih dibantu sebagian dari dana kompensasi. Nah kalau Pertalite dan Pertamax itu dari dana kompensasi. Harus diketahui pula, jika anggaran subsidi itu dibahas bersama DPR, disahkan dalam APBN dan disetujui untuk dibayarkan secara berkala pada Pertamina, tapi kalau dana kompensasi dibayarkan pada Pertamina kalau negara punya duit, kalau gak punya duit ya negara ngutang sama Pertamina. Kalau seperti ini cara mengelolanya yang kena getahnya Pertamina, lama-lama bangkrut.” tegas Bung Fahmi.
“Kalau dulu ada kan ada kebijakan moneter dana stabilisasi yang diambil dari penjualan sebesar Rp.500/liter, terus sekarang ada kebijakan fiskal PPN 11%, tapi enggak tau kemana perginya itu duit, padahal kan anggaran-anggaran tersebut adalah anggaran cadangan yang bertujuan untuk mengatasi masa sulit seperti hari ini agar tingkat inflasi dari efek dominonya tingkat tidak begitu tinggi.” tandas Bung Fahmi. (Denny)