Bali (Duta Lampung Online)- Sekedar merawat kenangan lama, saya mengunjungi Museum Rudana di Ubud – Bali, 2 Oktober 2014, 8 tahun yang lalu.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan dunia, saya setiap tahun selalu pergi ke Ubud, entah untuk sekedar jalan-jalan melepas lelah sejenak, atau mengikuti acara serius seperti Ubud Writers and Readers Festival (UWRF).
Ubud adalah sebuah desa budaya dengan denyut ekonominya berasal dari produk-produk kreatif, dan merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang dapat menjadi percontohan untuk ekonomi kreatif.
Ini adalah Museum Rudana, didirikan atas dasar idealisme pendirinya, Nyoman Rudana, dimana seni merupakan hal yang universal, sebagai hasilnya, berkontribusi terhadap proses harmonisasi antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), antara manusia dengan manusia (pawongan) serta manusia dengn alam sekitarnya (palemahan) yang tercermin dalam konsep filosofis Bali Tri Hita Karana, dimana seni sangat berperan dalam membantu menyebar luaskan perdamaian, kemakmuran serta rasa persaudaraan di antara umat manusia sedunia.
Visi humanisme Museum Rudana, yaitu untuk kemaslahatan (manfaat) umat manusia, merupakan filosofi perjuangan Nyoman Rudana dalam mengoleksi lukisan – lukisan yang kini dapat dinikmati di museum ini.
Obsesi pendirian museum ini diawali saat Nyoman Rudana menyaksikan bahwa begitu banyak hasil karya seni kuno Indonesia diboyong ke luar negeri. Tergerak untuk melestarikan karya – karya seni terbaik anak bangsa inilah kemudian Museum Rudana ini didirikan.
Bangunan seluas 500 meter persegi ini didirikan di atas lahan seluas 2.500 meter persegi di Kawasan Seni Rudana di Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, satu kompleks dengan Rudana Fine Art Gallery. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 22 Desember 1990.(SHDt)(*)