HOPELESS adalah suatu kondisi di mana seseorang kehilangan harapan. Dalam sosiologi, hopeless menyangkut harapan dari kerumunan orang, yang menurut Emily Durkheim, mengubah moralitas publik. Karenanya dalam “Treaty” Thomas Hobbes menghubungkan harapan kepada kontrak sosial dari Rosseau. Apabila kerumunan itu kehilangan harapan terhadap pemimpinnya, segera terjadi demoralisasi pada masyarakat kerumunan sehingga Locke dan Hobbes memberi determinasi harapan dalam batas Hak Azasi Manusia (HAM) dan kewajiban negara.
Sebenarnya sama tuntutan rakyat yang disebut harapan kerumunan tadi dengan pandangan Al Mawardi dalam “Ahkamul Sulthoniyyah” maupun Al Maudhudi yang lebih kritikal. Rakyat memiliki hak memberontak apabila hak-hak rakyat tidak dipenuhi oleh negara yang lalu diterminologis sebagai “penguasa”.
Hubungan itu berbentuk contracting. Dialektika social contract inilah masalah Presiden Jokowi dalam kasus Demo 411 yang lalu menerbitkan tuduhan makar yang dipasarkan oleh Kapolri kini kepada kaum demonstran yang menagih kontrak sosial kepada Jokowi.
Subtansi kontrak sosial adalah perlakuan adil untuk memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Hobbes mengemukakan, jika rasa keadilan tak mampu dipenuhi oleh penguasa (negara), rakyat berhak mencabut mandat yang diberikannya kepada kekuasaan dan apabila hak-hak azasi itu tak lagi mampu dilindungi, rakyat memiliki hak untuk memberontak.
Menurut Joan Bodin, ahli hukum sebelum Montesqiu, Rosseau, dan John Locke “Hanya satu kekuasaan yang diderma kedaulatan rakyat kepada pemegang kekuasaan, yaitu menghukum yang bersalah”. Ahok yang jelas bersalah, tidak segera ditangani lalu melukai perasaan keadilan masyarakat. Rakyat tak bisa disalahkan jika kini mereka menuntut sesuai kontrak sosial tadi. Salahnya sendiri, yang bahkan Presiden Jokowi tak bersedia menemui para demonstran, padahal hukumnya wajib karena ahli hukum telah menentukan begitu. Dinikmati saja Mister Presiden.
Menurut Yudi Latief, perasaan keadilan masyarakat tadi mengacu dan merujuk kepada dua kata “adil” dalam Pancasila. Yaitu, pada Sila Kedua dan Sila Kelima. Menurut saya, kasus Ahok adalah masalah Sila Kedua, sedang tuntutan Anti Jokowi adalah masalah Sila kelima.
Jadi ada dua ketidakadilan dari kontrak sosial yang tak mampu dipenuhi rezim Jokowi dua tahun terakhir yang, membentuk kompleks Al Maidah sebagai puncak gunung es. Di satu sisi rezim Jokowi sangat melindungi Hoaqiau, di sisi lain mempressure pribumi (dalam Indische Staatregeling).
Secara Hukum Tata Negara (HTN) terdapat anomali dalam penyelenggaraan kekuasaan negara dari perspektif negara integralistik negara hukum material Pancasila yang dikembangkan oleh UUD 20O2. Demonstrasi diperkenankan, yang dalam rezim Orde Baru dilarang. Menurut Prof Supomo dan Prof Muhammad Yamin, definisi negara integralistik, di mana negara dan rakyat posisinya harmonis, tidak diametral (berhadap-hadapan) mengikuti prinsip negara hukum Rechtsstaat. Ini berbeda dengan negara hukum Anglo Saxon (Amerika dan Inggris) yang diametral. Demikian juga dengan negara hukum Eropa (Eropa Continental Law) Perancis, Jerman, dan Belanda. Demonstrasi adalah alat sah rakyat untuk menagih hak-haknya dari negara.
Pada UUD 45 hak-hak rakyat berjumlah 19 hak, sedang pada UUD 2002 bertambah 10 menjadi 29 hak. Pertambahan itu mengacu kepada hak-hak dalam the rule of law (Anglo Saxon). Dengan demikian, Indonesia bukan lagi negara integralistik, melainkan the rule of law.
Yang dimaksud negara integralistik, di mana negara menguasai rakyatnya. Yang dimaksud negara menguasai rakyatnya, di mana semua kebutuhan rakyat harus dipenuhi oleh negara, termasuk freedom of religion (dilarang adanya propaganda anti agama yang dilanggar Ahok) tetapi tidak diametral seperti pada negara hukum the rule of law.
Dengan demikian, upaya rezim Jokowi mengembalikan masalah ke negara integralistik saya kira salah dan akan berakhir fatalistik. Sebab secara hukum, demonstrasi bukan lagi masalah makar, melainkan instrumen yang sah sebagai alat menagih hak-hak rakyat kepada negara sebagai konsekwensi dari UUD 2002.
Lalu, saya dengar dari tokoh demonstran Bursah Zarnubi tadi malam, para tokoh 411 telah menerima surat panggilan dari Bareskrim Polri untuk diperiksa, sementara Tito Karnavian menuduh makar karena ada penunggang politik yang ingin menggulingkan Presiden Jokowi di 411 maupun “akan” menunggangi Wiro Sableng (212 di seri Api di Bukit Menoreh).
Sangat wajar. Cuma di sisi mananya delik makar itu? Kompleksitas Al Maidah itu kini berkembang laksana kapak Wiro Sableng berkode 212, dengan dua tajam. Menebas ke kiri dan kanan sama tajamnya. Jika tak hati-hati akan memenjarakan Ahok dalam vonis berat sesuai SEMA Mahkamah Agung 1974 yang memerintahkan penista agama dihukum berat. Juga bisa merambat tergulingnya Presiden Jokowi karena ia memang tak mampu dan melulu salah urus negara sesuai datanya. Maka menggelontorkan operasi makar hanya menyampaikan pesan negara telah melompat ke totaliter. Jika berhasil tak apa-apa. Jika gagal, akan menjadi api di bukit menoreh karya Jan Mintardja. Harus dibuktikan jika cukup nyalinya. Saya kira Presiden Jokowi tak punya persediaan nyali yang cukup.
Masalahnya, masyarakat kadung hopeless terhadap Jokowi, kata Hatta Taliwang, Syahganda Nainggolan, dan Habil Marati senada. Benar itu, pendukung Jokowi di Pilpres juga sudah pergi dan tak kedengaran lagi suara mereka. Tampaknya Jokowi kini sendirian. Safarinya tak membuahkan hasil yang menggembirakan. Ada beberapa hari lalu yang berdemo mengusung bhinneka tunggal ika tapi tak beroleh tanggapan.
Aspek Delik Makar
Ada lima pasal dalam KUHP yang berhubungan dengan aspek delik makar. Namun. semua delik formilnya sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Pada masa Orde Baru, delik makar tadi dijunctokan kepada PNPS tahun 1963 yang lebih dikenal sebagai UU Subversif. Yang perkasa dari UU ini adalah frasa kalimat “perbuatan yang bisa mengguncangkan masyarakat”.
Dengan demikian, suatu perbuatan yang diperkirakan “dapat mengguncangkan masyarakat”, padahal bukti “terguncang” itu belum ada. Dalam istilah hukum disebut “pasal karet”. Dalam teori pembuktian disebut bukti spekulasi. Tentu saja tak boleh. Karenanya sewaktu reformasi, UU Subversif tersebut dibatalkan (nasakh mansukh). Dengan demikian teori makar yang dikemukakan oleh Kapolri tak dapat memakai KUHP maupun PNPS 1963. Tak tahu jika Kapolri membangun teorema sendiri. Setahu saya makar baru dapat dikenakan jika perbuatan itu delik materil, bukan delik formil seperti Pasal 165 a KUHP yang dilanggar Ahok.
Pada delik formil, suatu perbuatan menjadi kejahatan semata karena perbuatan itu disebut oleh UU.Ketika dilanggar langsung menjadi kejahatan tanpa perlu membuktikan niat jahat (mens rea) dari perbuatan itu. Demo bukan delik formil, tapi delik materil. Di mana delik materilnya perbuatan seseorang yang berteriak di forum demonstrasi, “Turunkan Jokowi”? Tak saya temukan. Itu penyampaian aspirasi yang sah. Tak ada deliknya.
[22/11 05:44] Djoko Edhi S Abdurrahman: Kembali ke UUD 45 Asli
Semua demo dalam dua bulan ini, selain masalah Al Maidah, adalah kembali ke UUD 45 Asli. Ahok adalah detonator dwi minoritasnya: Hoaqiau dan Non Muslim. Dan meledaklah 411.
Secara teknk, kembali itu adalah “menyusun kembali konstitusi”. Konsepsinya terbagi dua bab (istilah bab dari saya).
Bab 1 berisi 4 unit: 1. Proklamasi, 2. Pancasila, 3.Preambule, dan 4. UUD 45 asli.
Bab 2 Adendum, berisi UUD 2002 yang sudah disesuaikan dengan Bab 1. Ditambah lainnya, yaitu kembali tadi, dan regelingnya. Prasyarat isi Adendum dilarang melawan Bab 1 yang merupakan payung hukum dari segala perubahan di masa depan. Bab 1 dilarang diubah karena merupakan jejak tilas sejarah negara, kemerdekaan,.dst. Cara tersebut telah memenuhi gesetgebung wischenscaf (ilmu peraturan perundang-undangan) seperti cara Amerika Serikat sebanyak 43 kali amandemen. Tak seperti UUD 2002, yang asli didrop, jelas saja sesat. Makna bangsa dalam proklamasi sama dengan makna warga negara. Padahal warga negara bisa bangsa apa saja.
Nah, yang menunggangi demo adalah kelompok masyarakat yang berjuang untuk kembali ke UUD 45 itu. Misalnya Hatta Taliwang Cs. Tangkap saja Hatta Taliwang!
Istilah “ditunggangi” mengingatkan saya pada Demo 1966. Militer yang menunggangi mahasiswa atau mahasiswa yang menunggangi militer, adalah pembahasan yang memakan waktu puluhan tahun.
Namun asosiasi penggunaan kalimat itu terasa diarahkan kepada militer oleh Jokowi dan Kapolri menunjukkan militer memang berada di pihak demonstran.
Ketika kemarin saya ikut forum pertemuan tokoh nasionalis yang diundang Rachmawati Soekarno Putri di UBK, tiga kekuatan telah konvergens kembali ke UUD 45. Provokasi tuduhan makar tampaknya sudah tak signifikan untuk menakuti, melainkan mempercepat kristalisasi Wiro Sableng kembali ke UUD 45 asli tadi.
Sudah sangat banyak masyarakat yang berkehendak kembali ke UUD 45 karena UUD 20O2 sesat dan menyimpang jauh dari UUD 45. Antara lain Try Sutrisno dkk, Amien Rais dkk, Ketua Pengkajian MPR DPR. Itu segelintir yang terlibat pembuatan UUD 2002 mengingat dampak buruk yang ditimbulkan oleh UUD 20O2. NU sendiri telah menyatakan dalam muktamarnya kembali ke UUD 45. Begitu pula PPAD.(*)