SETIAP menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada), Pemerintah selalu meniup isu tentang netralitas pegawai negeri sipil (PNS).
Begitu seriusnya untuk mencegah keperpihakan PNS pada Pilkada 2017, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) telah menggelar rapat dengan Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan lembaga, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Hal itu guna merumuskan dan menyamakan persepsi sebelum diterbitkannya surat edaran (SE) Kemenpan RB, sebagai upaya pembinaan dan penegakan untuk menjaga netralitas PNS dalam pelaksanaan pilkada nanti, dengan mengacu pada peraturan pemerintah (PP) nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS.
Meski nampak serius, tapi diyakini SE yang diterbitkan nanti tidak akan dapat efektif alias setengah hati. Nasibnya akan sama dengan larangan bagi PNS ikut berpolitik sebagaimana diatur dalam UU nomor 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian.
Apa dan bagaimana terminologi ‘PNS berpolitik’ pun masih belum jelas. Yang ada hanya sekedar himbauan bahwa PNS harus netral, tidak boleh berpihak kepada salah satu pasangan calon.
Setiap tindakan PNS yang ada kaitan dengan calon Kepala Daerah selalu diwaspadai, bahkan dicurigai.
Sebagian PNS merasa ketakutan, tapi tidak sedikit PNS yang melakukan perlawanan karena mereka tahu batasan dari netralitas dalam politik praktis.
Bagi sebuah negara demokrasi, tuntutan netralitas total bagi PNS tidak akan berjalan sempurna. Sebab PNS memiliki hak politik dan sudah barang tentu hak politik tersebut harus benar-benar tersalurkan dengan baik, meski dalam melakukan tindakan politiknya tidak bisa secara terang-terangan.
Setiap PNS (kecuali TNI dan POLRI) memiliki hak politik untuk memilih, sehingga larangan berpolitik harus dimaknai dengan baik dan benar.
Penfasiran terhadap larangan berpolitik jangan sampai memposisikan PNS sebagai pihak yang harus dikebiri atau diskriminatif.
Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2004 tentang larangan PNS menjadi anggota partai politik, menjelaskan bahwa yang dilarang apabila PNS menjadi pengurus atau anggota partai politik.
Dalam surat edaran Menpan Nomor SE/08.A/M.PAN/5/2005 tentang netralitas pegawai negeri sipil dijelaskan bahwa “PNS dilarang terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala atau Wakil Kepala Daerah”.
Jadi jelas, bukan melarang PNS berpolitik, tetapi melarang dengan segala konsekwensi bahwa PNS tidak dibenarkan menjadi tim sukses atau tim pemenangan calon tertentu.
Sedangkan netralitas disini juga jelas, karena PNS masih memiliki hak pilih, tentunya punya hak untuk mengetahui bobot dan integritas figur calon pemimpin yang baik dan dijamin tidak akan membuat ’celaka’ para PNS apabila terpilih nanti.
Boleh jadi sikap ’tidak netral’ tersebut sebagai bentuk panggilan moral dalam upaya menyelamatkan roda pemerintahan untuk masa 5 tahun kedepan.
Kita menyaksikan bersama, berapa banyak PNS yang tersandung berbagai kasus pidana, hanya karena tidak mampu menolak perintah kepala daerah.
Maka menjadi wajar bila para PNS ikut ambil bagian dalam memenangkan calon pemimpinnya yang dipandang jujur dan amanah, serta diyakini tidak akan mencelakakan dirinya.
Itulah ujud dari bentuk kepedulian yang harus kita bangun kembali di negeri ini.
Sesungguhnya peraturan yang lebih bersifat khusus seperti UU, Perpu, PP, Inpres, Keppres dan Perda tidak boleh bertentangan atau bertolak belakang dengan peraturan yang bersifat mendasar/pokok (UUD 1945).
Jika hal itu terjadi maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan oleh hukum atau tidak sah.
Nah, peraturan yang melarang PNS mengikuti politik praktis hanya bersifat peraturan spesialis sedangkan UUD 1945 pasal 28 menyebutkan bahwa ”setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat dengan kata lain melakukan kegiatan politik”.
Maka secara yuridis hal tersebut bertentangan dengan konsitusi dan konsekuensinya peraturan tersebut (mestinya) tidak sah.
Jika ternyata ada PNS yang di nilai berpihak pada salah satu calon, maka keterlibatannya harus dilihat sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Negara demokrasi adalah negara yang menempatkan kedaulatan rakyat berada dipuncak kekuasaan. Maka tidak bisa kita tolak bahwa PNS, TNI dan POLRI pun merupakan bagian dari rakyat itu sendiri.
Dalam tatanan negara kita PNS merupakan pengabdi sipil atau bisa dibaca menjadi ‘sipil yang mengabdi’, bukan sebagai tuan bagi sipil atau civil-master.
Kapasitas tersebut sudah tentu tidak bisa dipisahkan dengan peran serta PNS dalam tindakan politiknya. Pengabdian PNS bukan sekedar untuk golongan atau satu partai saja melainkan mengabdi secara total kepada tuan mereka yaitu sipil.
Maka, ketika pengabdian kepada sipil atau rakyat ini harus lebih diutamakan, pengabdian kepada satu golongan atau partai politik harus benar-benar dikesampingkan.
Andai PNS sebagai pengabdi sipil telah melakukan satu manuver dengan memilih satu kandidat calon atau partai politik dan benar-benar mengaktualkan tindakan politiknya dengan menjadi kader (terlebih menjadi tim sukses) salah satu calon atau partai politik, berarti dia telah berkhianat kepada tuannya, yakni sipil yang diabdinya.
Diyakini, para kandidat calon pun tidak akan bertindak bodoh dengan menempatkan para PNS secara legal menjadi tim pemenangannya.
Muncul pertanyaan, mengapa banyak PNS yang tidak netral? Ditilik dari keberadaannya setiap PNS memiliki dua dimensi yaitu pertama, berfungsi sebagai seorang pemimpin keluarga yang berperan untuk membina dan mengarahkan rumahtangganya.
Dalam fungsi sosial, PNS berperan sebagai tokoh atau anggota masyarakat yang baik dilingkungannya. Untuk dapat menjalankan fungsi dan peran ini PNS harus memiliki kesadaran yang tinggi agar dapat menjaga diri dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin keluarga dan anggota masyarakat.
Kedua, seorang PNS berfungsi sebagai abdi negara yang memiliki tiga peran yakni sebagai alat atau aparatur negara, sebagai pelayan publik dan sebagai alat pemerintah.
Dari dimensi tersebut maka keberadaan PNS memang cukup strategis dan memiliki pengaruh besar dalam pencitraan figur para calon pemimpin ditengah masyarakat, terutama calon incumbent dan calon yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah.
Mereka adalah patron yang kata-kata dan perbuatannya sering menjadi panutan bagi lingkungannya.
Masyarakat beranggapan bahwa para PNS lebih banyak tahu tentang sepak terjang dan kredibilitas para calon incumbent dan pejabat pemerintah, karena PNS inilah yang dianggap telah merasakan langsung akan kepemimpinan mereka.
Posisi inilah yang cukup menggoda semua pihak untuk memanfaatkan PNS guna kepentingan yang sifatnya partisan. Para calon berupaya untuk dapat merekrut PNS sebanyak mungkin dengan harapan dapat berfungsi sebagai ujung tombak dalam melakukan pencitraan yang baik bagi masyarakat.
Maka larangan PNS berpolitik tidak ubahnya seperti ‘jeruk makan jeruk’, karena pada kenyataannya masing-masing pihak memiliki kepentingan dan saling membutuhkan.
Bagi masyarakat di negeri kita yang belum terlalu maju, PNS menempati posisi yang tinggi dalam struktur sosial masyarakat. PNS termasuk sebagian kecil dari masyarakat yang memiliki akses informasi yang luas dan menguasai pengetahuan yang berkesinambungan.
Ditilik dari kedudukan dan fungsinya, maka PNS merupakan pekerja resmi yang memegang kunci pengelolaan APBN dan APBD serta berbagai harta yang menjadi asset negara.
Maka ketidaknetralan PNS dalam pemilu kepala daerah bisa jadi merupakan suatu barter politik dengan pihak-pihak tertentu yang konsekuensinya berupa imbalan jika terpilih nanti, baik berupa jabatan struktural maupun bentuk kompensasi lainnya.
Bisa juga karena ada ancaman tertentu yang dilancarkan kepada PNS bila tidak mendukung salah satu pasangan calon.
Yang pasti, sebagai bagian dari warga negara dan warga masyarakat, seorang PNS juga memiliki preferensi terhadap kandidat calon atau juga partai politik.
Boleh jadi karena merasa gerah jika hanya menjadi penonton, lalu mengekspresikan dukungannya secara berlebihan dan melupakan netralitas.
Semua pihak harus menyadari bahwa sesungguhnya PNS sedang membutuhkan adanya pencerahan yang tidak sekedar berkutat pada vested interest, tetapi perlu menarik ke dalam diri apa filosofi posisi mulia dibalik tuntutan netralitas itu.
Jika memang PNS harus netral, maka dalam melaksanakan tugas sebagai abdi negara tidak perlu dihantui dengan kehilangan jabatan atau mutasi, siapapun yang terpilih nanti.
Harus ada perangkat aturan yang jelas dan tegas guna memberi perlindungan hukum bagi para PNS dari perlakuan sewenang-wenang kepala daerah.
Jujur harus diakui, sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung, promosi untuk jabatan struktural bagi PNS tidak memiliki dasar dan standar kompetensi yang jelas.
Semua tergantung selera dari kepala daerah, siapa yang akan ditunjuk untuk menduduki jabatan. Maka seorang
PNS tidak cukup hanya mengandalkan kecerdasan, kepintaran, dedikasi dan sederet gelar akademik yang disandangnya, namun jika tidak memiliki andil dukungan pada saat berlangsungnya pilkada, mustahil akan mendapatkan kursi jabatan.
Kenyataan membuktikan, betapa banyak para PNS yang memiliki kredibilitas dan otak cemerlang serta pangkat golongan yang tinggi, namun harus pasrah dengan posisinya sebagai staf.
Promosi jabatan tidak melihat semua itu, melainkan lebih didasarkan pada loyalitas dalam arti yang sempit.
Seyogyanya semua pihak, khususnya para calon yang bukan incumbent tidak perlu apriori dalam menyikapi PNS yang dinilai tidak netral.
Toh tidak ada jaminan bahwa incumbent akan terpilih kembali, semua sangat tergantung dengan bobot dan kualitas sang calon. (*)